Minggu, 29 November 2009

UN 2010

Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2009/2010 mengalami perubahan. Biasanya pelaksanaan ujian nasional pada minggu ke tiga bulan April tetapi sekarang maju 1 bulan. Menurut Menteri Pendidikan M. Nuh mengatakan bahwa ujian nasional tahun ini maju satu bulan. Untuk SMA pelaksanaan ujian pada minggu ketiga bulan Maret. Ujian Susulan atau ujian ulangan dilaksanakan pada minggu keempat bulan Maret.
Berbeda dengan UN pada tahun sebelumnya yang tidak ada ujian ulang bagi siswa yang tidak lulus, pada tahun ini ada ujian ulang bagi siswa yang tidak lulus pada ujian pertama.
Ujian Ulang akan dilaksanakan pada minggu pertama bulan April. Yang yang baru lagi dari pelaksanaan UN tahun ini adalah adanya sistem Cluster. Selama ini pelaksanaan UN oleh sekolah masing-masing dan hanya pengawas yang disilang murni. Tahun ini maka siswa dalam satu Cluster (mungkin kecamatan) terdiri atas 4 sekolah digabung menjadi satu. Dalam satu ruangan 20 orang terdiri dari 4 sekolah (masing-masing 5 orang). Ini berarti kembali ke Kurikulum 85 dimana siswa disilang murni.
Ada beberapa keuntungan dari pelaksanan UN tahun ini, dimana siswa yang tidak lulus pada tahap pertama masih dapat mengulang pada UN ulang.
Sistem cluster yang akan dilaksanakan jika tidak disosialisasikan sejak dini akan menjadi masalah di lapangan.
Orang di Jakarta tidak pernah berfikir tentang daerah-daerah yang sulit, mungking mereka juga tidak terbayangkan dengan dua sekolah dalam satu Kecamatan yang jaraknya mencapai 10 km. Bagaimana siswa dapat mencapai tempat ujian dengan baik, mereka akan kesulitan, apalagi untuk daerah-daerah yang sulit di jangkau dengan kendaraan darat, seperti di Sumatera Selatan.
Sistem Cluster juga harus dibayar mahal karena siswa aharus mengeluarkan ongkos ekstra untuk mencapai tempat ujian.
Sistem Cluster menurut saya bukanlah cara yang bijak, dan dapat ditinjau ulang dengan melihat kondisi masing-masing daerah di Indonesia.
Hal yang menjadi pertentangan di masyarakat adalah hasil UN yang dijadikan sebagai alat untuk menghakimi siswa lulus tidak lulus. Hal ini mengakibatkan praktek-praktek kecurangan di lapangan, seharusnya tidak demikian.
Ada sebuah kata yang terlempar dari seorang guru dilapangan : "Berapa standar angka kelulusan yang menteri pesan, kami akan penuhi, 7, 8, 9 atau 10", katanya.
Pernyataan bahwa UN dapat menjadi indek dan indikator kemajuan pendidikan Indonesia adalah sebuah "isapan jempol".
Sebaiknya kelulusan tetap diberikan kepada sekolah, seperti yang dilakukan dulu, sehingga dapat menekan praktek-praktek kecurangan di lapangan.
Jika benar tahun ini yang menjadi pengawas di lapangan adalah pihak perguruan tinggi, ini juga sama seperti tahun sebelumnya. Kecurangan masih akan tetap terjadi. Kecuali, jika soal UN benar-benar dijaga oleh pihak PT setiap saat. Atau soal baru dibagian ke setiap sekolah pada saat mau ujian oleh pihak PT.
Jika tidak, maka biaya milyaran yang dikeluarkan setiap tahun hanya sia-sia.
Mari kita berkaca, carut marutnya pendidikan karena tidak mau tahu, pemerintah mengambil kebijakan, pemprof mengambil kebijakan, pengkap mengambil kebijakan. Kami di lapangan sebagai guru juga akan mengambil kebijakan karena Pak Menteri juga berpesan lulusan harus 5,5.

Mahfud MD (Ketua MK)

Adsense Indonesia