PEMERATAAN GURU , KEGAMANGAN PEMKAB DAN PEMAHAMAN TERHADAP PP 74 TAHUN 2008
Oleh : Sadiman, M.Pd
Guru SMA Plus Negeri 2 Banyuasin
Setiap tahun sekolah-sekolah di daerah-daerah terpencil selalu teriak “kekurangan guru”. Teriakan ini semakin lama semakin parau bahkan tidak terdengar. Entahlah, mungkin sekolah-sekolah ini sudah kehilangan suara atau sudah bosan karena teriakannya tidak di dengar oleh pengambil kebijakan seperti pemerintah kabupaten di seluruh wilayah Indonesia, melalui Dinas Pendidikan dan Badan Kepegawaian Daerah.
Dua lembaga yang sangat strategis dalam penempatan guru begitu mandul dan masqul, sehingga sampai detik tulisan ini dibuat masih ada sekolah yang hanya memiliki kepala sekolah yang merangkap guru, wali kelas, guru piket, sampai tukang sapu. Suatu yang ironis ditengah-tengah perebutan jam oleh guru-guru yang sudah bersertifikasi di ibukota Kabupaten atau didaerah yang mudah dijangkau.
Hal yang lebih ironis dan aneh, penempatan guru yang baru diangkat tidak juga menyentuh sekolah-sekolah yang membutuhkan, justru di sekolah yang gurunya mengeluh “kurang jam” mendapatkan tambahan guru. Padahal penempatan guru pada sekolah-sekolah yang kelebihan guru akan menjadi masalah baru bagi sekolah karena tuntutan guru mengajar 24 jam, sesuai dengan PP 74 tahun 2008 pasal 51 dan 52. Ada pula sekolah yang memaksanakan agar jumlah kelasnya bertambah, bahkan melebihi kelas maksimal yaitu 27 kelas sesuai dengan standar sarana prasarana dan pengelolaan. Alasannya demi menyelamatkan guru di sekolah tersebut agar kebagian jam.
Mengapa penempatan guru tidak juga memberikan rasa keadilan bagi sekolah, lalu kapan pengangkatan guru akan memberikan solusi pemenuhan guru pada daerah-daerah yang membutuhkan. Ada seorang guru yang mendapatkan tugas ditempat yang membutuhkan nun jauh, ia hanya datang melapor saat itu saja, kemudian tak pernah kembali lagi. Terdengar kabar, guru tersebut sudah muncul di sekolah lain dengan status titipan, padahal sekolah tersebut sudah kelebihan guru.
Dalam PP No. 74 di jelaskan tidak ada status titipan guru, yang ada adalah guru melaksanakan tugas pada daerah khusus dengan kriteria daerah terpencil, daerah konflik, atau daerah yang sejenisnya. Mereka justru banyak yang keluar dari daerah-daerah yang membutuhkan dan menetap pada sekolah yang notebenenya sudah kelebihan guru. Ada juga yang berani membayar guru lain atau membagi gajinya agar tidak melaksanakan tugas pada daerah tempat bertugas dengan berbagai alasan.
Pada Pasal 62 di jelaskan mengenai tata cara pemindahkan guru, sebagaimana tecantum pada ayat (4) Pemindahan Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Guru yang bersangkutan bertugas pada satuan pendidikan paling singkat selama 4 (empat) tahun, kecuali Guru yang bertugas di Daerah Khusus.
Dari ayat tersebut jelas bahwa pemindahkan guru, terutama guru baru tidak diperkenankan sebelum melaksanakan tugas di tempat yang bersangkutan paling sedikit selama 4 tahun. Apa sanksi bagi guru-guru yang melanggar dengan “menitipkan diri” ke sekolah lain atau “lari” dari tempat tugas dengan alasan apapun, sangat jelas pada pasal berikutnya:
a) penundaan kenaikan pangkat dan jabatan selama 1 (satu) tahun bagi Guru;
b) pencabutan tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional selama 2 (dua) tahun bagi Guru; atau
c) pencabutan hak untuk menjadi Guru selama 4 (empat) tahun bagi warga negara Indonesia selain Guru.
Pasal yang begitu gamblang dan begitu mudah untuk dipahami telah “ditabrak” sedemikian rupa pada era otonomi dengan “surat sakti” atau surat-surat lain yang sama saktinya.
Preseden buruk pendidikan di suatu daerah dimulai dengan kekurangan guru di satu tempat dan kelebihan guru ditempat lain, selagi ketimpangan guru masih terjadi, ketidaktegasan pemerintah dalam menegakan aturan akan menjadilan pendidikan di suatu daerah tidak mengalami kemajuan. Dan kesenjangan jumlah guru dari terpencil dan daerah-daerah strategis (mudah dijangkau) semakin jauh.
Mau menunggu sampai kapan kita dapat melihat semua sekolah memiliki guru dengan pemerataan yang memadai. Butuh seorang kepala daerah, kepada BKD dan kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten yang mempunyai keberanian untuk melakukan perubahan dengan melakukan restrukturisasi secara rasional dengan menampatkan semua guru baru pada ring terluar dari ibukota Kabupaten, kemudian secara bertahap ditarik ke ring yang lebih dekat. Guru-guru yang potensial diberikan kesempatan untuk mengajar di ibukota kabupaten, dan guru-guru yang kurang berkualitas diminta untuk belajar di daerah-daerah terluar. Jika kinerjanya membaik maka bisa ditarik kembali mendekati ibukota kabupaten.
Mereka yang sudah memiliki dedikasi mengajar, setelah 4 tahun ada atau tidak ada penggantinya pemerintah Kabupaten melalui BKD dan Dinas Pendidikan harus mengeluarkan mereka daerah tersebut dan menggantinya dengan guru baru. Bukanlah pemerintah Kabupaten memiliki kewenangan untuk itu ?
Setiap guru yang baru diangkat juga harus menyadari dan siap untuk bertugas pada daerah-daerah yang kekurangan guru. Kesadaran akan pengabdian kepada negara dan bangsa akan menjadi guru-guru muda terasah secara pedagogik, sosial, kepribadian, dan profesinalisme. Ketika pengalaman sudah matang bersiaplah untuk bergeser ke tempat-tempat yang lebih nyaman.
Keiklasan mengabdi kepada bangsa dan negara terwujud dengan bersedia bertugas dimana saja di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi yang dimiliki.