Berbeda dengan Noordin M. Top yang mampu bersembunyi dari kejaran Polisi Indonesia, lebih dari 5 tahun. Yuniornya Syaifudin Jaelani tidak lebih dari 2 bulan. Syaifudin sudah tertembak densus 88. Ada perbedaan yang mencolok kemampuan Noordin dan Syaifudin dalam menyembuyikan diri. Disinyalir ini perbedaan antara anggota JI yang berlatar belakang akademisi dan basis militer dengan pendidikan murni.
Syaifudin Jaelani dan Noordin memang berbeda pekerjaan. Lihat saja cara noordin berpindah bisa ke Palembang, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimatan, Sulawesi. Dibandingkan Syaifudin yang hanya berkutat di sekitar Jakarta. Kemampuan diplomasi Syaifudin memang menurut informasi lebih baik daripada Noordin, akan tetapi kemampuan militer noordin jauh lebih baik. Ini yang mengakibatkan noordin bertahan lebih lama daripada Syaifudin.
Secara kultur kedua orang ini memiliki kultur yang berbeda, noordin jelas lebih militan karena tidak memiliki latar belakang psikologis, karena ia berkembangsaan Malaysiia, sedangkan Syaifuddin tulen Indonesia.
Syaifudin adalah nama baru yang dan sistem sel yang terputus menjadikan antar kelompok mereka tidak saling kenal. Dan kemungkinan sel Syaifudin juga merupakan bagian sel kecil saja, sehingga tidak mampu bergerak pada lingkungan yang lebih besar.
Setelah kita berkutat lama dengan terorisme, dan kebrutalan bom yang terus merenggut nyawa banyak orang kita patut merenung pada diri kita mengapa hal ini masih saja terjadi. Korban baik dari orang-orang yang dianggap teroris, atau orang lain yang terkena imbas dari pengeboman terus berjatuhan. Di antara mereka ada yang muslim, ada yang hindu ada yang kristen, ada yang muda dan ada yang tua. Mereka menjadi korban dari sengketa yang tidak berujung.
Pemerintah perlu mengambil jalan tengah agar terorisme tidak terus bermunculan. Mengapa??
Aksi kekerasan yang di balas dengan kekerasan tidak pernah akan habis, Densus 88 akan selalu berhadapan dengan pihak-pihak yang disebut teroris. Pemberitaan yang terlalu mendeskriditkan pada umat Islam harus segera dikurangi dan perlu berita berimbang.
Semua yang terjadi perlu dicari akar permasalahannya, apakah ketidakadilan, atau memang ada pihak-pihak lain yang ingin bermain di Indonesia.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, umat Islam tidak bisa di pisahkan dengan negara Indonesia. Karena kebesaran hati umat Islam maka negara ini bisa berdiri tegak.
Dengan menelusuri benang merah yang sangat panjang, tentu akan lahir suatu penyelesaian.
Bergabungnya berbagai komponen anak bangsa seperti NII, radikalisme, terorisme dan pahan-pahan lainnya, perlu solusi.
Apa yang sesungguhnya mereka mau?
Apa sesungguhnya yang mereka raih?
Apa sesungguhnya fatwa mereka benar?
Apa sesungguhnya pemerintah melakukan kesalahan?
Apa sesungguhnya aparat yang korup?
Apa sesungguhnya penyelesaian kerusuhan Ambon, Sampit, Poso yang tidak adil?
Apa karena pemimpin yang tidak melihat kemiskinan?
Atau Apa karena-karena yang lain?
Bagi orang-orang yang saat ini dicap sebagai teroris, juga perlu menahan diri. Mari kita duduk bersama. Jangan korbankan orang-orang yang tidak berdosa.
Pemerintah juga demikian ajaklah mereka turun dari lubang-lubang persembunyian, untuk berbicara apa sebenarnya yang dinginkan?
Pengejaran secara terus menurus akan melahirkan Amrozi, Imam Samudra dan Saifudin yang baru yang mungkin jumlahnya akan terus bertambah.
Anggota Densus 88, juga warga Indonesia, yang pasti mereka akan was-was, karena mereka sendiri mungkin menjadi sasaran korban berikitnya.
Mengapa kita harus saling membunuh, sesama anak bangsa?
Tentu Masih ada jalan lain yang lebih baik!
Bukanlah Rasulullah selalu menasehatkan kepada kita tentang, rahmatan lil alamin. Semoga Syaifudin merupakan korban terakhir, dan bom tidak lagi menyalak. Karena semua akan membawa kecemasan kita semua, kecematan densus 88, kecemasan orang-orang yang melakukan pengebonan, keluarga yang tinggalkan.
Selamat tinggal kekerasan, selamat datang perdamaian. Mari kita bangun Indonesia dengan damai. Semoga