Perlukah Kurikulum Karakter Bangsa ?
Oleh Sadiman, M.Pd (Guru SMA Plus Negeri 2 Banyuasin, Alumni TP Unsri)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang lahir tahun 2006 sudah berusia 4 tahun. Kurikulum ini sesungguhnya menjawab berbagai persoalan dan permasalahan para guru, masyarakat dan pengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan (baca sekolah). Jika kita kilas balik pada perkembangan KTSP tidak lepas dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan amanat rakyat Indonesia melalui wakilnya yang berada di lembaga tinggi Negara yaitu DPR. KTSP sesungguhnya merupakan penjelmaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang tidak pernah disyahkan. Semua yang ada di ada di KTSP ada di dalam KBK, sebaliknya tidak semua yang ada di KBK ada di KTSP.
Dari proses lahirnya sebenarnya Kurikulum yang lahir premature, sebab terjadi perubahan disana-sini dalam penyusukan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Dibandingkan KBK yang sudah mengalami uji coba selama 2 tahun, KTSP tidak mengalaminya. Pemutar balikan materi, pengurangan dari SK dan KD yang ada di KBK sebagai contoh nyata.
Usia yang sudah cukup matang bagi sebuah Kurikulum, seharusnya KTSP sudah mapan di tingkat satuan pendidikan. Tidak ada lagi adopsi, tidak ada lagi adaptasi. Semua sekolah semestinya mampu menyusun dokumen 1 berdasarkan dari analisis keadaan sekolah sehingga KTSP tersusun berdasarkan kondisi riil sekolah yang bersangkutan. Tetapi kenyataan di lapangan didapatan banyaknya dokumen 1 yang masih amburadul, tidak semua sekolah mampu menyusun dokumen 1 sendiri, apalagi dokumen 2 sebagai dokumen pendukung yang meliputi silabus beserta perlengkapannya : Analisis Tujuan Mata Pelajaran, Pemetaan SK-KD, silabus itu sendiri, KKM, progam tahunan, program semester, RPP beserta dengan lembar penilaian dan ditutup dengan bahan ajar.
Banyak sekolah yang diberi kesempatan untuk menyusun dokumen 1 dan guru menyusun dokumen 2 tidak dapat berbuat banyak karena kebiasaannya menerima apa yang berasal dari pusat. Sekolah dan guru tidak mampu mengekspresikan segala sesuatunya dalam bentuk kegiatan yang nyata sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Padahal dengan menyusun dokumen KTSP sendiri maka sekolah dan guru akan lebih leluasa untuk mengembangan potensi anak didik sesuai dengan karakter daerah masing-masing. Ketidakmampuan dan ketidakmauan mengembangkan KTSP dipengaruhi oleh banyak hal. Banyaknya factor yang mempengaruhi pelaksanaan KTSP di sekolah seperti kebijakan daerah, politik, dan SDM baik di sekolah maupun di dinas pendidikan di Propinsi maupun Kabupaten.
Kegamangan dari pihak lain pun bermunculan, ada yang menganggap KTSP mengalami kegagalan dan siap untuk diganti dengan kurikulum baru. Salah satu yang muncul saat ini adalah pendidikan karakter bangsa. Ide mengenai ini muncul dari para “sesepuh bangsa” dengan menganggap terjadi pelemahan pada kecintaan terhadap negeri sendiri. Karakter bangsa yang ramah, santun, berbudi pekerti luhur, gotong royong dianggap sudah tidak ada lagi dari KTSP dan pendidikan kita. Sehingga dikhawatirkan terjadi degradasi terhadap rasa kebangsaan dan budaya local.
Padahal jika kita telisik lebih dalam, KTSP sudah cukup lengkap. Apalagi sekarang dengan dikeluarkan juknis berupa buku panduan dalam pelaksanaan KTSP ditingkat sekolah dan guru. Pendidikan karakter bangsa juga masih menjadi tarik ulur apakah mau menjadi kurikulum sendiri, berdiri dalam satu mata pelajaran, atau masuk pada semua mata pelajaran. Sekolah dan para guru menjadi gamang “KTSP saja belum beres, harus ganti lagi” keluhan yang biasa di dengar. Bukankah kita sudah mempunyai pengalaman di masa lalu adanya P4, PSPB, sejarah, dan PMP. Bukankah semua materi yang ada dalam pelajaran tersebut merupakan bentuk karakter bangsa. Keadaan Indonesia yang ada sekarang merupakan hasil dari pendidikan kita di masa lalu yang didalamnya terdapat pelajaran-pelajaran tersebut.
Melahirkan mata pelajaran baru atau kurikulum baru untuk menggantikan KTSP adalah cerita panjang yang akan membenamkan pendidikan Indonesia, dimana beban mata pelajaran yang sudah sedemikian gemuk dan berat. Beban belajar yang semakin luas dan semakin padat bagi peserta didik. Padahal sekolah dan guru menghendaki lebih ringannya muatan kurikulum yang akan lahir.
Coba kita telisik lebih jauh, dalam KTSP terdapat pengembangan diri. Jumlah jam pengembangan diri di sekolah sangat bervariasi, minimal sekolah mengalokasikan 2 jam pelajaran. Pada prakteknya pengembagan diri di sekolah lebih dari 6 jam. Mengapa ? Secara kalkulasi bahwa pengembangan diri ada 2 jenis yaitu terprogram dan tidak terprogram.
• Kegiatan Pengembangan diri terprogram memiliki jadwal rutin seperti kegiatan ektrakurikuler di hari Sabtu, mulai pagi hingga siang. Kegiatan ini dilaksanakan setiap minggu, tujuannya memberikan bekal kepada peserta didik agar dapat mengembangan kemampuan, minat, bakat, kreativitas, kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan, kemampuan kehidupan keagamaan, kemampuan social, kemampuan belajar, wawasan dan perencanaan karir, kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian. Dalam kegiatan terprogram ini sudah sangat jelas akan memberikan kemampuan kepada siswa agar mempunyai keterampilan setelah meninggalkan bangku sekolah, baik untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi atau menghadapi kehidupan bermasyarakat.
• Selain itu dalam pengembangan diri terdapat juga kegiatan yang tidak terprogram yang meliputi 3 kegiatan yaitu : Rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan terjadwal, seperti : upacara bendera, senam, ibadah khusus keagamaan bersama, keberaturan, pemeliharaan kebersihan dan kesehatan diri.
• Spontan, adalah kegiatan tidak terjadwal dalam kejadian khusus seperti : pembentukan perilaku memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, antri, mengatasi silang pendapat (pertengkaran).
• Keteladanan, adalah kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti : berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan atau keberhasilan orang lain, datang tepat waktu
Ketiga kegiatan terakhir secara jelas terlihat merupakan kegiatan karakter bangsa yang perlu dipupuk pada seluruh insan pendidikan dari Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi. Apalah artinya mengubah kulit dari sebuah kurikulum tidak urgensi dan isinya tidak mengalami perubahan.
Terseok-seoknya pelaksanaan KTSP di sekolah menjadikan pelajaran bagi kita, bahwa perubahan yang sedemikian frontal seringkali tidak mendapatkan follow up yang memadai dari sekolah, guru dan masyarakat juga pemerintah daerah. Membenahi isi jauh lebih penting. Memaksimalkan pelaksanaan KTSP juga lebih penting daripada sekedar mengubah ke dalam bentuk lain yang akan lebih membingungkan guru. Bukankan kita lebih baik berkonsentrasi dalam mewujudkan 8 Standar Nasional Pendidikan secara sungguh-sungguh sesuai dengan amanat Undang-undang. Bukanlah kita lebih baik mewujudkan ke 8 Standar sesuai dengan tugas masing-masing. Manakah yang menjadi tugas pemerintah, pemprov, pemkab-pemkot, sekolah, guru dan masyarakat. Pemenuhan terhadap 8 SNP terutama sarana prasarana merupakan kunci sukses dalam pendidikan di Indonesia, daripada mengotak-atik hal lain yang masih abstrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar