Rabu, 24 Maret 2010

Menunggu UN yang Jujur dan Kredibel

Ujian Nasional atau UN yang telah dimulai tanggal 22 Maret lalu untuk tingkat SMA dan tanggal 29 Maret untuk tingkat SMP merupakan hajat besar Departemen Pendidikan Nasional dengan kendaraan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Meskipun UN menurut keputusan pengadilan tidak layak dilaksanakan tetap saja pemerintah “memaksa” untuk melaksanakan, bahkan tahun ini dijadikan sebagai salah satu acuan untuk masuk PTN. Gayung pun bersambut yang bertugas melaksanakan adalah para PTN, meskipun mereka masih “wait and see” apakah mereka mau menerima mahasiswa baru dari hasil UN atau tidak.
Meskipun PTN yang sebagai komponen penting dalam pelaksanaan UN, mereka masih ragu dengan hasil UN apakah memang benar-benar bersih. Janganlah mereka kami para gurupun masih ragu, apakah UN yang dilaksanakan memang bersih, jujur bersih dan kredibel. Tapi sebagai pelaksana di lapangan setidaknya semua sekolah sudah berusaha maksimal untuk melaksanakan UN sebaik-baiknya sesuai dengan POS yang telah di keluarkan Depdiknas melalui BSNP. Hal ini dapat dilihat dari pantauan yang telah dilaksanakan oleh para TPI, wartawan, atau lembaga lain yang memeloti pelaksanaan UN, bahkan petugas keamanan harus “begadang” menjaga soal UN secara ketat agar tidak “bocor”.
Pelaksanaan Evaluasi pembelajaran sebut “penilaian” menurut Undang-undang Sisdiknas dapat dilakukan oleh 3 komponen yaitu guru, lembaga dan pemerintahan. Guru melaksanakan evaluasi terhadap hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa setelah melaksanakan PBM di kelasnya, bentuknya berupa Ulangan Blok Atau ulangan harian. Keberhasilan dari Ulangan yang diberikan di lihat dari KKM yang telah dirancang guru berdasarkan analisis Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang telah ditentukan pemerintah. Guru memegang peranan yang penting dalam penilaian ini, guru melakukan penilaian terhadap 3 aspek yang telah ditentukan yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif. Penilaian ini tentu yang paling kredibel dibandingkan dengan penilaian yang lain karena gurulah yang paling tahu dengan keadaan siswa dikelasnya setiap hari.
Sebagai tanggung jawab guru harus menyusun soal sesuai dengan SK dan KD mata pelajaran masing-masing, sehingga soal yang disusun sesuai dengan tuntutan kurikulum dalam bentuk SKL. Tapi bukanlah SKL yang dituntut oleh setiap mata pelajaran sangatlah ringan, sehingga rasanya cukup mudah untuk mencapainya. Tapi apakah ini tidak terlalu ringan, dangkal bahkan hanya memenuhi sedikit sekali tuntutan kebutuhan kompetensi dibandingkan dengan masa studi anak selama 3 tahun yang harus dijalani siswa.
Penilaian berikutnya adalah penilaian yang dilakukan oleh sekolah, penilaian ini dilakukan dalam bentuk ujian semester, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Soal ini disusun oleh tim mata pelajaran di tingkat sekolah, soal ini juga harus disusun sesuai dengan teknik penyusunan soal yang baik, memenuhi kreteria valid dan reliable. Dari kombinasi antara hasil ulangan harian dan ujian semester, ujian tengah semester dijadikan sebagai syarat untuk kenaikan kelas. Tentunya semua ditentukan di dalam Kurikulum Sekolah.
Negara atau pemerintah juga berhak untuk melakukan penilaian dalam bentuk Ujian Nasional, Ujian Akhir Nasional atau ujian-ujian sejenis. Ujian ini disusun oleh tim ditingkat nasional. Tentunya soal ini juga harus disusun secara kredibel dengan criteria valid dan reliable serta memenuhi rasa keadilan bagi seluruh warga Negara dari Sabang sampai Merauke.
Ketika hasil UN yang dipatok minimal 5,5 oleh pemerintah, disinilah masalah mulai muncul. Pro dan Kontra terjadi. Mengapa? karena guru dan sekolah yang selama ini bergelut langsung dengan peserta didik ditinggalkan. Kelulusan dipancung ditengah jalan, sekolah tidak punya kewenangan untuk menentukan kelulusan. Di kala nilai salah satu pelajaran tidak lulus secara otomatis siswa “tewas” di tengah jalan.
Pemerintah mengatakan, kelulusan ditentukan oleh sekolah jika akan siswa yang nilainya lebih dari rata-rata yang ditentukan ternyata sekolah tidak meluluskan siswa tersebut merupakan hak sekolah. Tetapi di sekolah terjadi dilema, ujian Negara saja lulus kenapa di sekolah tidak lulus. Ini juga merupakan sesuatu yang tidak masuk di akal, kenapa kelululusan ditentukan oleh satu penilaian saja yang namanya UN, padahal anak-anak sudah belajar selama 3 tahun.
Sebagai pendidik saya termasuk yang tidak setuju jika UN dijadikan sebagai kelulusan yang mutlak, karena syarat kelulusan lain hanyalah “pemanis bibir” agar para guru dan pihak sekolah tidak “kecewa”. Seharusnya nilai UN hanya dijadikan sebagai standar proses, untuk keperluan pemetaan pendidikan. Atau dapat juga diambil jalan tengah kelulusan dikombinasikan antara nilai UN dengan nilai yang diberikan oleh guru, yang memang sangat berhak memberikan penilain dan ikut menentukan kelulusan peserta didiknya.
Dengan demikian pelaksanaan penilaian UN terlaksana dengan jujur dan kredibel. Tidak terjadi kasak kusuk dan tidak terjadi kecurangan. Apalah artinya kesepakatan “kejujuran” di saat persoalan sebenarnya tidak diselesaikan. Penyelewengan, pelaksanaan UN yang tidak jujur, tidak kredibel, dan hal negative lain dapat dikurangi dengan mendengarkan apa yang dimauni guru di lapangan, apa yang dimaui sekolah, apa yang dibutuhkan masyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh dunia pendidikan.
Hiruk pikuk UN dan berbagai kecurangan tetap tertutup rapat dan tidak terendus dikala guru tidak dilibatkan dalam penentuan kelulusan peserta didik, disinilah sebenarnya masalah utama yang dihadapi, disaat KTSP diusung beramai-ramai, dengan dana milyaran bahkan trilyunan ternyata tidak dapat membuka mata hati kita bahwa guru sebagai garda terdepan dalam pendidikan, diacuhkan untuk sebuah UN dengan “ketidakberdayaan” yang dibuat oleh institusi pendidikan itu sendiri.
Sampai kapan UN akan kredibel dan jujur ? Saya pasti menggelengkan kepala bahkan kepala saya sampai berputar, dan saya hanya berkata dalam hati “sampai guru diberi kepercayaan penuh untuk menentukan kelulusan siswa didiknya”. Sampai UN hanya dilaksanakan sebagai standar proses dan digunakan untuk keperluan pemetaan pendidikan, dan sampai suara para guru di dengarkan oleh para pengambil kebijakan.

Mahfud MD (Ketua MK)

Adsense Indonesia