Sebagai guru saya tentunya jauh dari ranah politik, meskipun sekarang pendidikan pun juga sudah dimasuki ranah politik. Ketika kasus century mencuat menjadikan kita pelajaran yang cukup banyak. Hingar binger televisi mengungkap kasus tersebut menenggelamkan kasus-kasus besar narkoba yang hamper setiap hari terjadi penangkapan dengan skala besar.
Saya rakyat kecil yang biasanya Cuma berfikir yang penting makan cukup, hidup tenang, dan aman. Saya tidak pernah memikirkan dana 6,3 trilyun yang digelontorkan ke bank yang pada saat di gelontorkan toh “tidak ada yang ribut”. Dimana waktu itu para anggota DPR yang terhormat, BPK atau badan-badan sejenis. Mengapa waktu itu tidak ada penegoran terhadap menteri, presiden, wakil presiden, BI, KSSK atau pejabat lain yang terlibat dalam pengucuran dana.
Kenapa sekarang Robert Tantular sebagai orang yang paling bertanggung jawab dengan kasus itu malah tidak diutak-atik, hanya dihukum ringaan. Padahal Robert harus bertanggung jawab penuh atas bobol dan penggerogotan bank.
Pemerintah sebagai pihak yang harus menjaga stabilitas ekonomi tentu ingin landasan ekonomi yang baru saja lepas dari krisis tetapi stabil.
Jika kita bicara sekarang, maka kita sungguh sulit membanyangkan situasi yang sebenarnya. Sebagai contoh pada saat kita menanggulani keadaan, buat parit saja di depan rumah perkiraan dana yang kita butuhkan cenderung meleset meskipun sudah direncanakan dengan matang. Kenapa, setelah tanah di gali ternyata parit satunya ambruk dan tadinya tidak terlihat. Kenapa hasil dipersoalkan parit yang ambruk yang penting diperbaiki agar orang dapat lewat jalan dengan tenang.
Ketika istri kita pulang dari kantor, di pasti mencak-mencak karena pengeluarkan pembuatan parit melebihu buget yang disediakan.
Itu Biasa terjadi kan…
Saya hanya belajar dari kasus century, ternyata tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan bersama. Pemimpin yang kita pilih pada saat pemilu anggota legistatif lebih senang ngobrol di depan televise, menawarkan retorika yang tentukan tidak pernah saya pahami, yang jauh dari kepentingan dan jauh dari penyelesaian.
Orang sehebat Wapres Boediono dan sekaliber Sri Mulyani yang merupakan salah satu menteri ekonomi terbaik di dunia dan dimiliki Indonesia harus di “ulek-ulek” di “jawar-jewer” Weleh weleh weleh …. Negara apa ini.
Saya di sekolah selalu mengajarkan kepada anak didik kita, bahwa menteri, DPR, Wakil Presiden, Presiden merupakan salah satu symbol Negara yang harus kita hormati, hargai dan panuti. Tapi apa yang harus kita panuti, apa memang kita salah memilih wakil di DPR.
Mbok yoo jadilah anggota DPR yang santun, jangan menuduh yang belum tentu benar, kapan Negara ini akan maju kalau hanya berkutat disitu-situ, kapan mau menyelesaikan jalan yang rusak, sawah yang kian menyempit, narkoba yang makin merajalela, tanah longsor, banjir dimana-mana.
Ini yang lebih penting Bapak-Bapak yang terhormat. Saya sunggu menyesal, hanya satu janjiku jika Boediono sampai terjungkal dari wakil presiden, maka saya tidak pernah percaya lagi dengan institusi yang namanya DPR dan tentunya saya akan Golput pada pemilu yang akan dating. Dan pendapat saya ini pasti akan diamini oleh banyak orang.
Mari belajar dari masa lalu, jadilah anggota DPR yang santun, yang memberikan tauladan, menjunjung tinggi kepentingan Negara, dan menjaga agar masyarakat tidak resah.
Ngenes aku…